Teropongjateng, Jakarta - Kebakaran Gunung Bromo menjadi pelajaran yang benar - benar mahal harganya. Setelah Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, menilai denda untuk pelaku kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur, masih kurang jika dibandingkan dengan biaya operasional heli water bombing.
Abdul menjelaskan pelaku atau penanggung jawab wedding organizer yang menyalakan suar pada sesi foto prewedding penyebab kebakaran di Bromo, telah dikenakan pidana oleh kepolisian dengan ancaman penjara dan denda maksimum Rp 1,5 miliar.
"Biaya operasional water bombing itu satu sorti, satu jam sudah lebih dari Rp 200 juta dan saat ini masih kurang, karena seperti yang kita lihat di Gunung Arjuna saja itu operasi water bombing kita sudah lebih dari empat hari," ujar Abdul.
Baca Juga: Yuliarti, Warga Menoreh Semarang Terancam Kehilangan Aset Dalam Proses Lelang Sepihak
Abdul juga mengungkapkan 90 persen kejadian karhutla disebabkan oleh perbuatan manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Pada kawasan lahan gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memiliki mekanisme penegakan hukum. TNI-Polri kemudian mengkaji secara forensik sebab kejadian untuk dilakukan penegakan hukum bagi pelaku.
"Kerugian ekonomi mungkin bisa kita bayar tapi kerugian ekologi mungkin butuh waktu untuk merestorasi," ujar dia.
"Mari kita jaga sama-sama lingkungan kita. Kondisi cuacanya bukan penyebab, tapi akan menjadi katalis yang sangat cepat untuk bisa membuat kebakaran terus tereskalasi menjadi bencana," tegasnya lagi
Baca Juga: Salatiga Masuk Nominasi Jejaring Kota Kreatif UNESCO bidang Kota Gastronomi
Pada tanggal 14 September 2023, pukul 17.05 WIB, semua titik api di kawasan wisata Gunung Bromo sudah dinyatakan padam. Bagian tersisa hanya kepulan asap dari tonggak kayu terbakar. Semua lokasi bekas kebakaran kita lakukan mop-up atau pendinginan untuk memastikan bara api benar-benar padam.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Satyawan Pudyatmoko mengatakan kegiatan pemulihan ekosistem dapat dilakukan melalui mekanisme alam, rehabilitasi, atau restorasi.
"Bentuk pemulihan ditentukan dengan hasil kajian terhadap beberapa komponen, di antaranya kondisi awal hutan, status keanekaragaman hayati, struktur vegetasi, kondisi klimatologi, ketersediaan pohon induk, wilayah jelajah satwa liar serta potensi gangguan terhadap hutan," ujarnya
Baca Juga: Kebakaran Gunung Bromo Berdampak Turunnya Jumlah Kunjungan Wisatawan
Satyawan mengungkapkan areal yang terbakar di kawasan TNBTS didominasi oleh ekosistem savana dengan berbagai jenis rerumputan dan terdapat pohon yang tersebar tidak merata. Adapun untuk wilayah-wilayah tertentu dengan dominasi pohon dilakukan rehabilitasi berupa penanaman pohon dengan jenis asli yaitu cemara, kesek, dan putihan.
Apabila membandingkan ekosistem savana dengan ekosistem hutan dengan tegakan yang rapat, jelas Satyawan, maka kemungkinan ekosistem savana membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat dalam pemulihan dibandingkan dengan ekosistem hutan.(ido)***
Artikel Terkait
Polres Salatiga Siap Didepan Menghadapi Bahaya Kebakaran
Pemadaman Api Kebakaran Gunung Sumbing Dilakukan Manual
58 Kasus Kebakaran Di Kota Semarang Mayoritas Berasal Dari Pembakaran Ilalang
Kasus Kebakaran Hutan Cukup Tinggi, Jalur Pendakian Gunung Lawu Tutup Sementara
Kebakaran Gunung Bromo Berdampak Turunnya Jumlah Kunjungan Wisatawan